KPU Kaji Pemilihan Tertutup, Andi Mallarangeng Sarankan Distrik Campuran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari melemparkan wacana bahwa terbuka kemungkinan Pemilu 2024 menggunakan daftar calon legislatif (caleg) terutup atau sistem proporsional tertutup. Sistem ini pernah diterapkan dalam pemilu selama masa Orde Baru (Orba).
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng mengusulkan KPU menggunakan sistem distrik campuran. Sistem ini pernah diusulkan Tim 7 pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie dalam rangka merevisi Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu). Distrik campuran pernah disetujui dalam rangka memperkuat akuntabilitas anggota parlemen.
"Saya masih ingat ketika kami dari Tim 7 yang dipimpin oleh Prof. Ryaas Rasyid diminta untuk menyusun draft UU Pemilu baru yang demokratis oleh Pemerintahan Presiden Habibie. Ketika itu, dalam semangat reformasi kami mengusulkan, dan disetujui oleh Presiden, sistem distrik campuran untuk pemilu legislatif. Alasannya, untuk memperkuat akuntabilitas anggota parlemen kepada rakyat yang diwakilinya," kata Andi kepada wartawan, Jumat (30/12/2022).
Selama Orba, Andi melanjutkan, dengan sistem proporsional tertutup, yang terjadi adalah tampilnya anggota-anggota parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya, karena rakyat hanya memilih tanda gambar partai, dan siapa yang terpilih dasarnya adalah nomor urut caleg yang orangnya ditentukan oleh parpol.
"Yang muncul adalah kader-kader jenggot yang berakar ke atas, tidak mengakar ke rakyat. Oligarki partai merajalela dan hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri," ujarnya.
Menurut Juru Bicara (Jubir) Presiden era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini, dalam sistem proporsional tertutup, perjuangannya adalah bagaimana mendapatkan nomor urut kecil, bahkan kalau bisa dapat nomor urut 1. Maka resepnya adalah bagaimana agar lebih dekat dengan pimpinan parpol, bukan rakyat.
"Yang penting branding partai tetap kuat di dapil. Biarlah tokoh utama partai yang berkampanye keliling, kita tinggal memasang gambar partai dan tokohnya. Partai menang, caleg nomor urut 1 terpilih. Oh, yang kerja keras mungkin caleg no 2, karena hanya kalau partai dapat 2 kursi baru dia bisa terpilih. Nomor urut 3 dan seterusnya cuma pelengkap, hampir tidak ada harapan terpilih," kritik Andi.
Soal adanya kritik bahwa sistem proporsional terbuka mengakibatkan biaya politik tinggi karena persaingan antar calon di dalam partai dan juga politik uang, ia menjelaskan, politik uang tidak berasal dari sistem pemilu tapi justru pada budaya politik masyarakat dan elit itu sendiri. Dan budaya bagi-bagi sembako jelang pemilu sudah terjadi sejak masa Orba dengan proporsional tertutup.
"Kalau soal politik biaya tinggi, itu relatif, tergantung orangnya dan daerahnya, serta campaign financing system. Apalagi, sekarang ada medsos yang gratis," tegasnya.
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng mengusulkan KPU menggunakan sistem distrik campuran. Sistem ini pernah diusulkan Tim 7 pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie dalam rangka merevisi Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu). Distrik campuran pernah disetujui dalam rangka memperkuat akuntabilitas anggota parlemen.
"Saya masih ingat ketika kami dari Tim 7 yang dipimpin oleh Prof. Ryaas Rasyid diminta untuk menyusun draft UU Pemilu baru yang demokratis oleh Pemerintahan Presiden Habibie. Ketika itu, dalam semangat reformasi kami mengusulkan, dan disetujui oleh Presiden, sistem distrik campuran untuk pemilu legislatif. Alasannya, untuk memperkuat akuntabilitas anggota parlemen kepada rakyat yang diwakilinya," kata Andi kepada wartawan, Jumat (30/12/2022).
Selama Orba, Andi melanjutkan, dengan sistem proporsional tertutup, yang terjadi adalah tampilnya anggota-anggota parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya, karena rakyat hanya memilih tanda gambar partai, dan siapa yang terpilih dasarnya adalah nomor urut caleg yang orangnya ditentukan oleh parpol.
"Yang muncul adalah kader-kader jenggot yang berakar ke atas, tidak mengakar ke rakyat. Oligarki partai merajalela dan hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri," ujarnya.
Menurut Juru Bicara (Jubir) Presiden era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini, dalam sistem proporsional tertutup, perjuangannya adalah bagaimana mendapatkan nomor urut kecil, bahkan kalau bisa dapat nomor urut 1. Maka resepnya adalah bagaimana agar lebih dekat dengan pimpinan parpol, bukan rakyat.
"Yang penting branding partai tetap kuat di dapil. Biarlah tokoh utama partai yang berkampanye keliling, kita tinggal memasang gambar partai dan tokohnya. Partai menang, caleg nomor urut 1 terpilih. Oh, yang kerja keras mungkin caleg no 2, karena hanya kalau partai dapat 2 kursi baru dia bisa terpilih. Nomor urut 3 dan seterusnya cuma pelengkap, hampir tidak ada harapan terpilih," kritik Andi.
Soal adanya kritik bahwa sistem proporsional terbuka mengakibatkan biaya politik tinggi karena persaingan antar calon di dalam partai dan juga politik uang, ia menjelaskan, politik uang tidak berasal dari sistem pemilu tapi justru pada budaya politik masyarakat dan elit itu sendiri. Dan budaya bagi-bagi sembako jelang pemilu sudah terjadi sejak masa Orba dengan proporsional tertutup.
"Kalau soal politik biaya tinggi, itu relatif, tergantung orangnya dan daerahnya, serta campaign financing system. Apalagi, sekarang ada medsos yang gratis," tegasnya.